Ingin Dicintai Karena Allah

Ingin Dicintai Karena Allah
WildaNya

Rabu, 27 Oktober 2010

Makalah Studi Hadits

 
MAKALAH
HADITS SHAHIH

(Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadits)







Oleh Semester Ia Kelompok III:
Ach. Junaidi
Ach. Rofiq

Pembimbing:
Moh. Jasuli, M.Hi



Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)
SEKOLAH TINGGI ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH
(STIKA)
GULUK-GULUK SUMENEP

Tahun Akademik 2010-2011


PEMBAHASAN

A.  Definisi Hadits Shahih
Menurut bahasa (Etimologi) kata hadits memiliki arti;
1)   al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit[1].
2)   Qorib (yang dekat)
3)   Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya[2].
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Ahadits merupakan jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai untuk hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.
Dan Shahih menurut bahasa ialah berasal dari kata Shahha, Yasihhu, Shuhhan, Washihatan, washahahan, yang berarti sehat, selamat, benar, sah, dan yang sempurna[3].
Sedangkan pengertian Hadits Shahih secara istilah (Terminologi) adalah hadits yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)[4].
Menurut Ibnu Sholah, Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh para perawi yang adil (menghindari perbuatan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil) lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhir sanad dan tidak bersifat syadz (bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat).

B.  Syarat-syarat Hadits Shahih
Berdasarkan pengertian hadits shahih di atas, maka sebuah hadits bisa dikatakan shahih apabila telah mencakup beberapa syarat, baik dari segi sanadnya maupun dari segi matannya. Dari segi sanadnya (Shahih Lidzatihi) yakni;
a)    Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan bersambungnya sanad adalah setiap perowi hendaknya mendengar hadits secara langsung dari perowi yang ada di atasnya, demikian seterusnya hingga sampai ke puncak sanad.

 b)   Perawinya adil
Perawi yang adil adalah suatu potensi yang dapat menjaga seseorang untuk dapat continue dalam bertaqwa, mampu menjaga kewibawaan dan muru’ahnya (prestis). Syarat-syarat seorang perowi adalah:
  • Islam, hadits yang diriwayatkan oleh orang kafir tidak dapat diterima.
  • Baligh, pada masa ini seorang anak sudah memiliki tanggung jawab agama. Hadits yang diriwayatkan oleh perowi yang belum baligh tidak dapat diterima karena belum mendapat beban hokum.
  • Berakal, saat meriwayatkan hadits seorang perowi harus dalam keadaan sadar dengan apa yang diriwayatkan, berakal sehat dan tidak terganggu status akal pikirannya.
c)    Perowinya Dlabith
Memiliki hafalan yang kuat dan sempurna (Dhobt). Maksudnya adalah seorang perowi mampu meriwayatkan hadits-hadits yang pernah dia hafal secara spontan tanpa ada perubahan dari apa yang pernah didengar. Barometer yang digunakan untuk mengetahui kualitas hafalan seorang perowi adalah dengan membandingkan hafalan perowi tersebut dengan tokoh-tokoh ahli hadits yang dijadikan rujukan oleh para Muhaddits pada saat itu. Seperti Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Madini, dan lain-lain. Jika hadits-hadits yang dihafal oleh seorang perowi sama dan tidak berbeda dengan apa yang dihafal oleh tokoh-tokoh rujukan, maka perowi itu dikatagorikan sebagai perowi yang memiliki hafalan sempurna (Tamam Al-Dhobt).
Jika terdapat sedikit perbedaan, maka derajatnya sedikit turun menjadi Qolla Dhabtuhu (hafalannya sedikit rendah). Namun jika terdapat banyak perbedaan atau kekeliruan, maka hafalannya dikatagorikan parah (Fahisy Adh-Dhobt), dan hal itu akan berpengaruh pada kualitas hadits yang diriwayatkan.
Dhobt dibagi dua, dhobt as-shadr dan dhobt al-kitab. Apabila seorang perowi dalam meriwayatkan hadits bertumpu pada hafalannya, maka dinamakan Dhobt As-Shadr, namun jika berpegang pada tulisan yang dia tulis dalam lembaran-lembaran yang berusaha dijaga hingga tidak terjadi perubahan pada tulisan tersebut maka dinamakan dengan Dhobt Al-Kitab.

d)   Tidak ada kejanggalan (Syudzudz)
Tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz), maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perowi yang tsiqah (terpercaya). Tidak berlawanan substansinya dengan riwayat hadits perowi yang lebih tsiqah. Sebatas berbeda riwayat namun masih bisa diakurkan, tidak dinamakan Syudzudz. Misalnya hadits riwayat perowi tsiqah substansinya menyatakan boleh, dan setelah diusahakan untuk diakurkan dua teks tersebut ternyata tidak bisa, maka hadits perowi pertama menjadi Syadz, dan termasuk kategori dha’if.

e)    Tidak ada cacat (‘illat)
Tidak terdapat illat yaitu suatu “penyakit” yang tersembunyi dalam teks maupun sanad hadits yang dapat merusak kesempurnaan hadits. Jika dipandang secara dhohir, hadits tersebut sekilas nampak sempurna. Akan nampak cacatnya jika diteliti lebih jauh. Contoh ’illat; hadits yang mestinya marfu’ diriwayatkan dengan mauquf atau sebaliknya[5].
Contoh Hadits Shahih;
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ali bin Abdullah, dia berkata telah memberikan kepada  kami Sufyan, dia berkata telah memberitakan kepada kami Azzuhri dari Mahmud bin Robi’ dari Ubadah bin Asshamit bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Tidak sah sembahyang (shalat) orang yang tidak membaca Fatihah”[6].
Sedangkan syarat-syarat hadits shahih dari segi matannya (Shahih Lighairihi) adalah:
1.    Pengertian yang terkandung dalam matan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang lain.
2.    Pengertiannya tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati (Ijma’ Ulama’).
3.    Tidak ada kejannggalan lainnya jika dibandingkan dengan matan hadits yang lebih tinggi tingkatan dan kedudukannya[7].

C.  Kitab-kitab Hadits Shahih dan Tingkatannya
Banyak para ulama’ berargument/menyatakan bahwa ‘hadits itu shahih’ dan ‘hadits itu tidak shahih’. Diantara pernyataan-pernyataan itu dapat kita himpun bahwa riwayat-riwayat yang paling shahih adalah sebagai berikut:
1.    Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
2.    Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
3.    Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
4.    Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
5.    Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhariy.
Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahîh al-Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya.
Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat pada kitab Shahîh Muslim.
Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian hadits-hadits al-Bukhariy.
Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih.
Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuana mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.”
Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al-Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.”
Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”
Jumlah hadits yang dimuat di dalam kitab ash-shahîhain yaitu:
1.    Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
2.    Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak + 4000 hadits juga[8].
Kita bisa mendapatkan hadits-hadits shahih di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan lain-lain.
Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.
  • Ø Tingkatan Keshahihan Hadits
Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:
Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas.
Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan:
  • Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi)
  • Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
  • Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
  • Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
  • Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya
  • Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya
  • Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim) [9]..
Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan Muslim tidak pernah menyatakan secara jelas (implisit) perihal persyaratan yang disyaratkan atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits yang shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti melalui proses pemantauan (follow up) dan analisis terhadap metode-metode yang digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat mereka anggap sebagai persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya.
Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan persyaratan asy-Syaikhân atau salah satu dari keduanya adalah bahwa hadits tersebut hendaklah diriwayatkan dari jalur Rijâl (para periwayat) dari kedua kitab tersebut atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang digunakan keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka.


KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah hadits bisa dikatakan shahih apabila telah memenuhi beberapa syarat yakni:
1.    Sanadnya bersambung (Ittishalu As-Sanad)
2.    Perowinya adil (‘Adalatur Ruwat)
3.    Perawinya Dhabith (Dlabtu Ar-Ruwat)
4.    Tidak ada kejanggalan
5.    Tidak cacat.
Jadi, kita bisa mengamalkan hadits tersebut dengan sebaik-baiknya.



Daftar Pustaka

H. Mawardi Muhammad. 1957 Ilmu Mushthalah Hadits. Jakarta: Sa’adiyah Putra.
H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. 2008. Ulumul Hadits dan Pengantar Studi Hadits Praktis. Malang: UIN Malang Pres.
Drs. Abdul Fattah, dkk. 2002. Ulumul Hadits II (OP.Cit)
Drs. H. Moh. Ahmad, dkk. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Drs. Utang Ranowijaya, M.A. 1996. Ilmu Hadits. Bandung: Gaya Media Pratama.
Drs. Muhammad Ma’shum Zainy Al-Hasyimiy, M.A. 2008. Zubdatul Ilmil Hadits. Jombang: Darul Hikmah.
Muhammad Ujaj al Khotib. 1992. Ushul al Hadits Ulumuhu wa Mushtholahuhu. Libanon: Bairut.
Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi. 1992. Jawahir al Usul al Hadits fi Ilmi Hadits al Rosul. Libanon: Bairut.


[1] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut; Libanon. 1992. hal. 26
[2] Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi,  Jawahir al Usul al Hadits fi IlmiHadits al Rosul Bairut; Libanon. 1992. hal. 24
[3] Drs. Utang Ranowijaya, M.A. Ilmu Hadits. Gaya Media Pratama. Hal. 155
[4] Drs. Abdul Fatah, dkk. Ulumul Hadits II. 45
[5] H. Zaid B. Smeer, Lc, M.A. Ulumul Hadits Pengantar Studi Hadits Praktis, hal 32-34
[6] H. Mawardi Muhammad. Ilmu Mushtholah Hadits, hal 29
[7] Drs. H. Moh. Ahmad, dkk. Ulumul Hadits. CV Pustaka Setia: Bandung. Hal 104-105
[8] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut; Libanon. 1992. hal. 70
[9] Drs. Muhammad Ma’shum Zainy Al-Hasyimiy, M.A. Zubdatu Ilmil Hadits, hal. 24